Tuesday, August 19, 2008

Pelayanan Ambulance Gawat Darurat

Pelayanan Ambulans Gawat Darurat

Aryono DP*, Suryadi Soedarmo,** Saleha Sungkar,***

* Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia

** Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Indonesia

*** Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia

Pendahuluan

Di Indonesia, banyak penderita cedera, keracunan, serangan jantung atau kegawat-daruratan yang lain yang meninggal di rumah atau dalam perjalanan ke rumah sakit karena penatalaksanaan yang tidak memadai. Padahal angka kematian di rumah atau dalam perjalanan ke rumah sakit dapat dikurangi jika ada pelayanan gawat darurat yang dapat segera menghampiri penderita, dan dalam perjalanan penderita kemudian didampingi oleh paramedik dan ambulans yang memadai. Oleh karena itu masyarakat perlu mengerti fungsi ambulans dan mudah mendapatkan ambulans.

Harus segera dimaklumi, bahwa pada hakekatnya pelayanan gawat darurat yang seharusnya pergi ke penderita, dan bukan penderita yang dibawa ke pelayanan gawat darurat. Ini mengandung konsekuensi, bahwa ambulans yang datang ke penderita, dan kemudian membawanya ke rumah sakit, haruslah merupakan suatu “Unit Gawat Darurat berjalan”, sebaiknya dengan perlengkapan gawat darurat yang lengkap, dan petugas medik yang ber-keterampilan dalam penanganan gawat darurat.

Rumah sakit yang ada maupun instansi lainnya, sebenarnya tidak memerlukan ambulans, karena pelayanan evakuasi penderita dapat dilakukan oleh dinas ambulans yang ada.

Tentu saja uraian di atas untuk Indonesia masih merupakan angan-angan, terutama karena pengetahuan mengenai sistem evakuasi dan transportasi penderita masih belum meluas, dan bukan karena kekurangan dana.

Sistem pelayanan gawat darurat pra Rumah Sakit

Pada saat penderita mengalami kegawatan medik, maka seharusnya secepatnya ada pelayanan gawat darurat yang membantu penderita. Setelah diberikan pertolongan medik, maka penderita kemudian dibawa ke rumah sakit, ini disebut sebagai evakuasi medik primer (“primary medevac”). Penderita yang ada di suatu rumah sakit, mungkin akan dirujuk ke rumah sakit lain, ini disebut sebagai evakuasi medik sekunder (“secondary medevac”).

Tentu saja sistem sedemikian memerlukan ambulans dan paramedik dalam jumlah yang tidak sedikit. Ini dapat dilakukan melalui 2 cara :

1. Sistem eksklusif : ada dinas ambulans yang melayani sistem ini

2. Sistem inklusif : rumah sakit yang mempunyai ambulans, mengikut sertakan ambulans dalam sistem, dengan satu pusat koordinasi.

Untuk banyak kota di Indonesia, sistem inklusif lebih cocok, karena sistem eksklusif sungguh mahal.

Tingkat kebutuhan ambulans

Sebagai rumus umum, maka akan terjadi satu kegawat-daruratan medik (ringan dan berat) setiap hari setiap 10.000 penduduk. Kemampuan satu unit ambulans adalah rata-rata 5 kegiatan setiap harinya (tentu saja dapat kurang, atau lebih, tergantung tingkat kegawatannya). Ini berarti bahwa setiap 50.000 penduduk akan memerlukan 1 unit ambulans. Berdasarkan sensus tahun 2000 (data BPS) penduduk DKI Jakarta adalah 8 juta lebih, dengan tambahan 4 juta yang datang dari sekitar DKI setiap harinya untuk bekerja. Dengan demikian DKI Jakarta akan memerlukan sekitar 240 unit ambulans, yang memang dikhususkan untuk tugas pelayanan pra rumah sakit. Pada sore hari, 80 ambulans harus bergeser ke sekitar DKI, mengikuti pergeseran penduduk yang pulang ke daerah sekitar DKI.

Pada sistem pelayanan gawat darurat yang baik, maka satu unit ambulans harus diawaki 2 kru. Dua kru ini dapat terdiri dari satu pengemudi yang sudah dilatih sebagai penanggap pertama (“medical first responder”) dan satu petugas paramedik, atau terdiri dari 2 petugas paramedik. Dengan 3 kali pertukaran jaga setiap hari dan 2 petugas libur, akan diperlukan 8 paramedik setiap unit ambulans.

Tentu saja diperlukan satu pusat komunikasi. Juga diperlukan pengarahan medik (“medical direction”) oleh dokter, yang dapat berupa pengarahan langsung pada saat kegiatan sedang berlangsung (“on-line medical direction”) ataupun setelah kegiatan usai dilakukan audit medik (“off-line medical direction”). Karena tingkat kompetensi yang diperlukan sudah mendekati kompetensi seorang dokter emergensi, sangat diperlukan protokol-protokol medik yang ketat, agar dapat dikurangi tingkat kesalahan pelayanan.

Jelas, bahwa dinas ambulans harus mempunyai suatu bagian DikLat yang bertugas untuk menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan gawat darurat medik.

Spesifikasi Mobil Ambulans

Menurut Departemen Kesehatan RI, maka ambulans dapat dibagi menjadi :

1. Ambulans Transportasi

2. Ambulans Paramedik

Karena fungsinya yang khusus, maka mobil yang dipakai sebagai ambulans memerlukan desain khusus yang dapat dilihat pada lampiran 1.

Spesifikasi Alat medik di ambulans

1. Ambulans transportasi

Membawa alat Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support) dan alat evakuasi.

2. Ambulans paramedik

Membawa alat bantuan hidup lanjut (Advanced Life Support) termasuk ekhokardiografi (dengan defibrilator) dan obat-obatan, serta perlengkapan untuk menghadapi bencana.

Spesifikasi ketenagaan medik

Ketenagaan pada ambulans sebaiknya jangan awam murni karena dapat

mengakibatkan cedera lebih lanjut. Dalam satu ambulans sebaiknya ada 2 petugas yang berakreditasi:

1. First Responder/Penanggap Pertama

Orang awam yang telah mendapatkan pelatihan gawat darurat lengkap (bukan P3K)

2. Paramedik dasar (paramedik I).

Tenaga perawat yang sudah mendapatkan pelatihan gawat darurat dasar. Perawat biasa pengetahuannya tidak cukup untuk dapat membantu penderita gawat darurat.

3. Paramedik lanjutan (paramedik II dan III)

Paramedik dasar yang telah mendapat pengetahuan dan keterampilan gawat darurat lanjutan. Pengetahuan medis paramedik III seharusnya sama dengan pengetahuan seorang dokter emergensi, dengan tingkat kompetensi yang sedikit lebih rendah. Sebagai contoh adalah krikotirotomi jarum yang masih dapat dilakukan paramedik III, namun krikotirotomi surgikal hanya dapat dilakukan seorang dokter.

Lingkaran tugas paramedik

Pada dasarnya tugas di ambulans adalah lingkaran tugas yang terdiri atas persiapan – respons - kontrol TKP - akses - penilaian awal keadaan penderita dan resusitasi – ekstrikasi – evakuasi – transportasi ke rumah sakit yang sesuai, lalu kembali ke persiapan.

1. Persiapan

Fase persiapan dimulai saat mulai bertugas atau kembali ke markas setelah menolong penderita

2. Respons

Pengemudi harus dapat mengemudi dalam berbagai cuaca. Cara mengemudi harus dengan cara defensif (defensive driving). Rotator selalu dinyalakan, sirene hanya dalam keadaan terpaksa. Mengemudi tanpa mengikuti protokol, akan mengakibatkan cedera lebih lanjut, baik pada diri sendiri, lingkungan maupun penderita.

3. Kontrol TKP

Diperlukan pengetahuan mengenai daerah bahaya, harus diketahui cara parkir, serta kontrol lingkungan.

4. Akses ke penderita

Masuk ke dalam rumah atau ke dalam mobil yang hancur, tetap harus memakai prosedur yang baku.

5. Penilaian keadaan penderita dan pertolongan darurat

Hal ini sedapatnya dilakukan sebelum melakukan ekstrikasi ataupun evakuasi.

6. Ekstrikasi

Mengeluarkan penderita dari jepitan memerlukan keahlian tersendiri. Penderita mungkin berada di jalan raya, dalam mobil, dalam sumur, dalam air ataupun dalam medan sulit lainnya. Setiap jenis ekstrikasi memerlukan pengetahuan tersendiri, agar tidak menimbulkan cedera lebih lanjut.

7. Evakuasi dan transportasi penderita

Ambulans di Dinas Ambulans Gawat Darurat 118

1. AGD 118 Basic

Mampu menanggulangi gangguan A (airway), B (breathing), C (circulation) dalam batas-batas Bantuan Hidup Dasar. Juga dilengkapi dengan alat-alat ekstrikasi, fiksasi, stabilisasi dan transportasi

2. AGD 118 Paramedik

Dilengkapi dengan semua alat/obat untuk semua jenis kegawat-daruratan medik dan petugasnya harus ada Paramedik III.

3. AGD 118 Sepeda Motor

Tentu saja motor ini bukan alat evakuasi, namun lebih bersifat “membawa UGD ke penderita”.

Peralatannya seperti AGD 118 Paramedik dan awaknya harus Paramedik III

AGD 118 harus mampu:

a. Idealnya sampai di tempat pasien dalam waktu 6-8 menit agar dapat mencegah kematian karena sumbatan jalan nafas, henti nafas, henti jantung atau perdarahan masif (“to save life and limb”)

b. Berkomunikasi dengan pusat komunikasi, rumah sakit dan ambulans lainnya

c. Melakukan pertolongan pada persalinan

d. Melakukan transportasi pasien dari tempat kejadian ke RS atau dari RS ke Rs

e. Menjadi rumah sakit lapangan dalam penanggulangan bencana.

Akses untuk mendapatkan ambulans

Semua usaha membantu penderita akan sia-sia bila waktu yang diperlukan untuk mendapatkan bantuan gawat darurat terlalu lama.

Di beberapa kota, maka menelpon nomor 118 sudah akan tersambung ke pusat komunikasi gawat darurat medik, seperti misalnya di DKI Jakarta dan Jogyakarta. Di DKI Jakarta, nomor 118 bebas pulsa.

Daftar Pustaka

1. Grant HD et al, in Emergency Care, 7th.ed. , Prentice Hall, 1996

2. McSwain NE; Pre-Hospital Care; in Feliciano, Moore & Mattox (eds);Textbook of trauma; 3rd ed.; pp107-121; 1996

3. Soedarmo S. Operasionalisasi ambulans, AGD 118, 2003

4. Pusponegoro AD. Pertolongan penderita trauma pra-rumah sakit. Jakarta: Ambulans Gawat Darurat 118;2001.

  1. Panduan Gawat darurat, Departemen Kesehatan RI, 2001